Fakta sejarah mengungkapan bahwa sebagian besar peradaban dunia
yang tumbuh dan berkembang di muka bumi ini pada awalnya dimotivasi
oleh sebuah keyakinan agama. Hal ini terbukti dari monumen-monumen
bersejarah seperti piramid dimesir, candi borobudur di jawa tengah,
ka’bah di mekah dan banyak lagi bangunan-bangunan bersejarah yang
menandakan bahwa dahulu terdapat suatu peradaban besar yang di topang
keras oleh keyakinan agama.
Agama Islam, Yahudi
dan Kristen seperti yang kita ketahui bersama adalah agama yang
diyakini berasal dari langit atau sering kita sebut sebagai agama-agama
samawi. Pengertian secara sederhana agama samawi adalah agama yang
memiliki wahyu dari para nabi-Nya. Seperti halnya agama Islam yang
secara geneologi diawali ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu Allah
melalui perantara malaikat Jibril di Gua Hira pada abad ke 7 Masehi.
Pewahyuan itu berlangsung secara terus-menerus selama 23 tahun yang
kemudian wahyu-wahyu itu di kumpulkan dan di abadikan dalam bentuk teks
yang bernama Al-Qur’an yang merupakan kitab suci agama Islam.
Wahyu
Al-Qur’an yang berbahasa arab mengisyaratkan bahwa Allah secara
implisit telah memasuki perantaraan sejarah dan terdapat kaidah-kaidah
sejarah didalamnya yang bersifat kultural-empiris, sehingga dengan
demikian bahwa bahasa arab ini memiliki sifat patrikular, namun pesannya
bersifat universal karena ajaran Islam ditujukan kepada seluruh umat
manusia sebagai agama yangrahmatan li al-alamin. Oleh karena
itu sifat lokalitas yang muncul pada ranah bahasa dan budaya arab
sebaiknya dipahami sebagai bukti dan wadah yang bersifat
instrumental-historis. Pesannya yang universal dan fundamental harus
selalu digali dan di formulasikan kedalam ranah bahasa dan budaya
non-arab, sehingga eksklusivisme bahasa dan budaya arab bukan sebagai
penghalang penyebaran islam, akan tetapi sebagai penyimpan dan penjaga
kemurnian ajaran Islam.
Dengan pemahaman diatas maka ketika
seseorang melakukan penerjemahan dan penafsiran dalam memahami sebuah
teks Al-Qur’an, maka secara tidak langsung yang bersangkutan juga
melakukan penafsiran dan menulis ulang sebuah teks, hanya saja pada
level mental (logika). Hal ini dikarenakan teks Al-Qur’an hanyalah
salah satu aspek dari realitas kehidupan beragama, pemahaman agama yang
hanya menyandarkan pada otoritas teks tanpa memahami dan
mengapresiasikan konteks psikologis, social dan demografis dimana teks
Al-Qur’an itu dilahirkan maka, dimensi universalnya akan terkalahkan
oleh dimensi tekstualnya sehingga pemahamannya terhadap Islam lebih
bersifat patrikularistik.
Ada tiga dimensi dalam memahami kehidupan beragama selain dari pandangan kita terhadap kajian teks, Pertama : dimensi
personal yaitu agama yang memberikan acuan hidup seseorang secara
pribadi untuk memberikan makna bagi setiap tindakan dan peristiwa baik
pada saat suka maupun duka, untuk mengarahkan pada makna dan tujuan
hidup yang sebenarnya. Kedua : dimensi
cultural, mengingat suatu agama tumbuh dan berkembang melalui dinamika
kultur, sehingga dimensi cultural akan mewarnai seseorang atau
masyarakat untuk mengekspresikan nilai-nilai keagamaannya. Ketiga : dimensi
ultima, yang merupakan dumensi yang mengacu pada sesuatu yang
absolute, kesadaran ini akan membedakan tindakan seseorang layak atau
tidaknya secara religious dari sebuah ekspresi cultural.
Dengan
demikian penting kiranya kita sadari bahwa dalam studi keagamaan tidak
cukup hanya tertuju pada studi terhadap teks-teks keagamaan saja akan
tetapi lebih dari itu yaitu kajian budaya atau tradisi, sehingga mau
tidak mau harus melibatkan metodologi ilmu-ilmu social lainnya. Dalam
Islam terdapat ajaran baku yang diyakini sama, namun pada level
penafsiran dan tradisi akan ditemukan keberagaman, bahkan keberagaman
ini telah melembaga kedalam sebuah mazhab baik dalam filsafat, fiqh,
politik, maupun cabang ilmu ke-Islaman lainnya. Salah satu kekuatan yang
mengikat keberagaman tersebut adalah pesan tauhid dan keontentikan teks.
Berbicara Tauhid dalam agama Islam tidak terlepas dari kalimat persaksian (syahadat), format syahadat yang begitu pendek dan sederhana akan tetapi dampaknya sangatlah luar biasa, karena syahadat adalah sebuah pernyataan persaksian dan manifesto Tahuid yang secara sadar akan mempengaruhi cara berfikir dan cara hidup seseorang dalam memandang dunianya. Ajaran Islam, sikap percaya (iman) selalu dikaitkan dengan sikap kritis sehingga kalimat syahadat-nya sangatlah filosofis. Pertama kita diajak menegaskan “tidak ada tuhan”
yang patut kita sembah, kita diajak untuk berempati dengan faham
ateisme[1] dan kemudian kita dituntut membangun argumentasi rasional
dengan bimbingan wahyu (Al-Qur’an) untuk sampai menemukan Tuhan yang
patut disembah. “Tiada tuhan kecuali Tuhan” yang
sebenarnya yaitu Allah SWT. Dengan demikian iman merupakan prodak
nalar dan hati yang diterangi oleh wahyu atau bisa juga dibalik bahwa
iman adalah ajaran wahyu yang diterima secara rasional.
Selain
itu sosok rasul Muhammad sang pembawa ajaran adalah figur sejarah yang
transparan, perjalanan hidupnya tidak di tutupi oleh misteri dan
spekulasi. Secara social-historis salah satu prestasi mencolok dari
Muhammad adalah kemampuannya menciptakan kohesi dari berbagai suku yang
sedemikian beragam dari Madinah ke Spanyol dan Turki. Konsep tauhid
yang sederhana dan mudah dicerna serta karakter keterbukaan Islam untuk
menerima symbol dan elemen kultur merupakan sebuah media ekspresi dan
penyangga pesan dan eksistensi Islam.
Puncak-puncak kejayaan Islam pada masa lalu di sandarkan pada prinsip dan semangat tauhid sehingga
watak peradaban Islam pada dasarnya bersifat inklusif, toleran dan
keterbukaan terhadap inovasi dan pengembangan intelektual keislaman,
karena Islam dalam hal ini sangat menghormati penalaran dan eksplorasi
ilmiah. Dengan karakter tersebut secara menakjubkan Islam telah terbukti
mampu menyulap wilayah Arabia yang semula gersang menjadi mata air
peradaban Islam yang tetap berkembang hingga sekarang. Bukti nyatanya
dapat kita lihat betapa banyak ilmuan kelas dunia pada saat itu yang
lahir dari inspirasi dunia Islam seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al
Farabi mulla sadra dan yang lainnya. Mereka turut memberikan sumbangan
besar dalam menghantarkan lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern
barat saat ini.
Namun sangat disayangkan sejarah
Islam hari ini hanyalah tinggal sejarah sehingga muncul Pertanyaan di
benak umat Islam hari ini, mengapa hari ini islam gagal dalam
menghantarkan lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi modern
sebagaimana yang berkembang di Eropa barat? Salah satu penyebabnya
adalah umat Islam tidak mampu membangun institusi riset yang besar dan
independent yang mengabdi pada ilmu terapan. Hal ini dikarenakan
kuatnya peradaban teks dan kekuasaan ulama-ulama yang lebih
mengedepankan ritual dan kekuasaan ketimbang membangun peradaban,
sehingga mereka telah menyia-nyiakan aset intelektual yang luar biasa
yang pernah dimiliki oleh dunia Islam. Misalnya saja teknologi sederhana
seperti kompas, ketika kompas berada di tangan ulama hanya digunakan
untuk menentukan arah kiblat, sedangkan ketika kompas ditangan
orang-orang Eropa digunakam untuk berani berlayar keliling dunia
mengarungi lautan. Kemudian ilmu falak atau ilmu astronomi, jika di
Islam ilmu falak hanya digunakan ulama untuk menentukan kapan datangnya
Ramadan, sementara dibarat ilmu ini di gunakan sebagai modal untuk
melakukan petualangan luar angkasa.
Karena sebab
diataslah kemudian Islam mengalami stagnasi dalam membangun peradaban
modern bahkan hari ini umat Islam jauh tertinggal dari barat secara
ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian maka secara tidak
langsung umat islam telah menelantarkan proyek besar islam untuk
mewujudkan janjinya sebagai ummat yang terbaik dan unggul dalam
peradaban seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat 3 : 150
yang menyatakan bahwa “engkau telah menjadi umat terbaik yang telah
di munculkan untuk umat manusia, seraya menganjurkan kebaikan dan
melarang keburukan dan yang percaya pada Tuhan”
Selanjutnya Konsep hablumminallah dan hablumminannas mengisyaratkan terdapat dua ajakan dari ajaran Islam yang sangat fundamental yang pertama yaitu Hablumminallah (hubungan
manusia dengan tuhan) yang mengajak manusia untuk melakukan
trasnsendensi[2] diri untuk menemukan sesuatu “yang lebih” yang berada
diluar realitas historis-empiris yaitu Tuhan. Dan yang kedua adalahHablumminnannas (hubungan
manusia dengan manusia) yaitu ajakan atau doktrin tentang tanggung
jawab social untuk senantiasa membantu orang lain dalam rangka
menciptakan masyarakat yang sejahtera.
Demikianlah wahyu Ilahi
memanggil nurani dan penalaran kritis kita sebagai manusia untuk
bekerja memberikan pencerahan kepada masyarakat sehingga contoh sejarah
yang sesungguhnya telah dipaparkan dan di amanahkan Tuhan pada
manusia. Jika kita cermati teks Al-Qur’an maka Tuhan berulang-ulang
kali menggunakan kata “Kami” ketika menjelaskan proses perubahan social
yang oleh para ahli tafsir dipahami bahwa Tuhan melibatkan manusia
dalam mendesain arah sejarah hamba-hamba-Nya. Dengan demikian muncul
pertanyaan kemanakah arah sejarah dan dimana peran agama? Jawabannya
lagi-lagi dikembalikan pada manusia sendiri karena instansi dan
pengguna jasa terakhir agama dan peradaban adalah manusia itu sendiri.
Tuhan telah menetapkan takdir-takdir Nya, yaitu formula sebab-akibat
yang berlaku pada prilaku alam maupun kehidupan manusia dan dengan
modal kebebasan yang dimiliki manusia tampil mendesain dan
mengendalikan bekerjanya takdir Tuhan.
[1] Faham Ateisme adalah sebuah faham yang tidak mempercayai adanya Tuhan.
[2]
Transendensi adalah kemampuan menerobos keluar dari yang membelenggu
kefanaan lalu mendekat dan berserah diri (islam) pada penciptan-Nya
(Tuhan)
Fadly Kaimuddin (Kom. FKM, Wasekum PTKP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar